Senin, 29 September 2008

Selamat

IDUL FITRI
1429 H

Mohon Maaf Lahir Batin

Minggu, 21 September 2008

Media Gathering dan Buka Bersama














Beberapa jurnalis senior berbincang dengan Tedjo Prasetyo (kiri) dan Harijadi Surja (tengah, berdiri).

Suasana santai dan gayeng terasa pada gathering media dan buka bersama di Kahyangan Art Resto, Surabaya. Sejumlah pimpinan media cetak dan elektronik serta perwakilan media di Surabaya hadir dalam acara ini. "Tidak ada agenda khusus dalam pertemuan ini, kecuali acara temu akrab dengan rekan-rekan media di Surabaya", jelas Harijadi Surja, owner dan pengelola Dream of Kahyangan Art Resto.

Maka, beberapa kawan media yang siap dengan kamera dan peralatan tulisnya Minggu sore itu sejenak rileks tanpa disibukkan wawancara.
Rekan Rachmad Setiawan, dari Jawa Pos sempat bertanya," Dengan siapa saya mesti wawancara?". "Kali ini duduk santai dan nikmati saja suasana berbuka di Kahyangan resto, agenda wawancara bisa kapan-kapan", jawab Mamuk Ismuntoro,media relation officer, disambut senyum teman Jawa Pos.

Perbincangan di teras Kahyangan Art Resto bergulir santai sejak pukul 16.30. Mulai urusan liputan hingga obrolan seni budaya bersahutan di tiga meja kayu yang dipenuhi rekan-rekan media.
Rekan Lukman dan Awang dari Metro TV tampak berbicang santai dengan pemimpin redaksi Surabaya Pagi, Imron Mawardi serta Rachmad, dari Jawa Pos. Sementara di meja sebelah, Budi Sugiharto, kepala Biro Detik Surabaya, Iping, pemimpin redaksi Suara Surabaya.net, Sonny Djoko Sasongko, kepala biro harian Seputar Indonesia, dan Wahyu, reporter harian Surya terlibat perbincangan serius namun santai dengan Harijadi Surya.
Tak jauh dari dua meja tadi, jurnalis senior televisi Hasan Sentot - SCTV Surabaya, Hartoko Ari Putro - ANtv dan koreografer ternama Jawa Timur, Heri Lentho terlihat gayeng berbincang dengan Tedjo Prasetyo, salah satu owner Kahyangan Art Resto.

Usai sholat maghrib, perbincangan berlanjut hingga hari mulai gelap. Beberapa rekan media mulai berpamitan untuk kembali ke markas media masing-masing. Terima kasih untuk rekan-rekan media yang sempat hadir, dan salam hangat untuk rekan media yang berhalangan datang.
Sampai jumpa di kegiatan Kahyangan Art Resto mendatang.

Jumat, 08 Agustus 2008

Jember Menuju Pentas Dunia
















Jember kini tak hanya identik dengan tembakau atau pantai Watu Ulo dan Papuma. Pagelaran Fashion Carnaval yang digagas Dynan Fariz, sang kreator, perlahan namun pasti menjadi salah satu pentas fashion dunia yang diperhitungkan.
Awal agustus lalu, pagelaran fashion ini kembali digelar melengkapi "bulan Kunjungan ke Jember".
Fashion show yang menggunakan jalan raya antara alun-alun hingga Gedung Olah Raga (GOR) kota Jember yang berjarak 3,6 Km sebagai catwalknya. Di sepanjang jalan tersebut melintas defile 450 peserta JFC. Pada gelaran yang ke-7 ini, JFC mengangkat tema besar 'World Evolution' yang diwujudkan dalam 8 defile yaitu roots (manusia akar), under sea, papua, robotik, barikade, off earth, gate 11, dan metamorphic.

sumber/foto:
Bobo/ Matanesia Pictures

Rabu, 02 April 2008

Persembahan Cinta Untuk Dua Budaya

Tahun 1852: Perang yang berkecamuk di Cina Selatan memaksa sebagian besar penduduknya mengungsi ke luar tanah leluhurnya. Secuil cerita ini dan beberapa kejadian lain yang dipicu oleh bencana alam serta bahaya kelaparan, konon menjadi logika pembenar bagaimana etnis China tedapat di wilayah manapun di dunia.

Penyebaran pengungsi ini juga menyentuh daratan Nusantara, dan Rembang salah satunya.Di kota pesisir utara Jawa ini, para pengungsi
menetap dan berasimilasi dengan penduduk setempat. Mereka yang kebanyakan kaum lelaki mengambil isteri wanita setempat.

Etos kerja yang tinggi membuat para perantau bertahan, membaur dan berketurunan. Salah satu generasi ke dua yang saat itu cukup terpandang adalah seorang muslim yang membangun rumah tinggal sebagai wujud rasa hormat dan cinta terhadap ke dua orang tuanya yang berlaina etnis Jawa dan Cina. Maka dibangunlah sepetak hunian berisi tiga unit rumah Jawa, 2 joglo dan 1 limasan.maing-masing memiliki peruntukan dan penonjolan detail yang berbeda. Joglo terbesar dipersembahkan untuk ayahanda yang beretnis China, kaya dengan ukiran oriental. Keseluruhan detail didominasi warna merah Prada (air mas), warna khas budaya Tionghoa.

Sementara untuk sang ibu yang asli Jawa, dibuatkan sebuah rumah bergaya Limasan. Tipe rumah yang khas kebanyakan rakyat Jawa ini seolah menyimbolkan otentifikasi etnis sang ibu. Sementar satu joglo kecil lainnya digunakan sebagai tempat ibadah.

Di kemudian hari, kompleks inilah elemen-elemen utama yang membentuk resto Kahyangan. Adalah pemilik baru yang asli Solo, kolektor dan pecinta benda antikberbau Jawa, merasa memiliki sejarah yang sama dengan seorang haji dari Rembang, lantas memutuskan
untuk memboyong kompleks rumah tersebut ke Surabaya. Mempersembahkan kembali bagi ke dua orang tuanya yang berlainan etnis.

Dream of kahyangan Art Resto, nama resmi resto ini lantas menuntaskan misinya dengan tidak hanya berkutat pada urusan gastronomi, namun menjelajah kemungkinan konservasi budaya dengan menggelar berbagai kesenian Jawa. Kesenian-kesenian rakyat yang sudah jarang terdengar oleh publik digelar kembali seperti wayang Thengul Bojonegoro,Ludruk,Wayang Kulit,Perkusi Madura dsb.

Misi konservasi budaya ini ibarat sebuah jembatan bagi masa lalu, masa sekarang dan akan datang. Maka bermimpilah di Kahyangan, sebuah surga reka-reka. Tempat kenikmatan kulinari berlatar budaya Jawa dan China bercengkerama halus dan saling menghormati.
( sumber : Indonesia Design)