Tahun 1852: Perang yang berkecamuk di Cina Selatan memaksa sebagian besar penduduknya mengungsi ke luar tanah leluhurnya. Secuil cerita ini dan beberapa kejadian lain yang dipicu oleh bencana alam serta bahaya kelaparan, konon menjadi logika pembenar bagaimana etnis China tedapat di wilayah manapun di dunia.
Penyebaran pengungsi ini juga menyentuh daratan Nusantara, dan Rembang salah satunya.Di kota pesisir utara Jawa ini, para pengungsi menetap dan berasimilasi dengan penduduk setempat. Mereka yang kebanyakan kaum lelaki mengambil isteri wanita setempat.
Etos kerja yang tinggi membuat para perantau bertahan, membaur dan berketurunan. Salah satu generasi ke dua yang saat itu cukup terpandang adalah seorang muslim yang membangun rumah tinggal sebagai wujud rasa hormat dan cinta terhadap ke dua orang tuanya yang berlaina etnis Jawa dan Cina. Maka dibangunlah sepetak hunian berisi tiga unit rumah Jawa, 2 joglo dan 1 limasan.maing-masing memiliki peruntukan dan penonjolan detail yang berbeda. Joglo terbesar dipersembahkan untuk ayahanda yang beretnis China, kaya dengan ukiran oriental. Keseluruhan detail didominasi warna merah Prada (air mas), warna khas budaya Tionghoa.
Sementara untuk sang ibu yang asli Jawa, dibuatkan sebuah rumah bergaya Limasan. Tipe rumah yang khas kebanyakan rakyat Jawa ini seolah menyimbolkan otentifikasi etnis sang ibu. Sementar satu joglo kecil lainnya digunakan sebagai tempat ibadah.
Di kemudian hari, kompleks inilah elemen-elemen utama yang membentuk resto Kahyangan. Adalah pemilik baru yang asli Solo, kolektor dan pecinta benda antikberbau Jawa, merasa memiliki sejarah yang sama dengan seorang haji dari Rembang, lantas memutuskan
untuk memboyong kompleks rumah tersebut ke Surabaya. Mempersembahkan kembali bagi ke dua orang tuanya yang berlainan etnis.
Dream of kahyangan Art Resto, nama resmi resto ini lantas menuntaskan misinya dengan tidak hanya berkutat pada urusan gastronomi, namun menjelajah kemungkinan konservasi budaya dengan menggelar berbagai kesenian Jawa. Kesenian-kesenian rakyat yang sudah jarang terdengar oleh publik digelar kembali seperti wayang Thengul Bojonegoro,Ludruk,Wayang Kulit,Perkusi Madura dsb.
Misi konservasi budaya ini ibarat sebuah jembatan bagi masa lalu, masa sekarang dan akan datang. Maka bermimpilah di Kahyangan, sebuah surga reka-reka. Tempat kenikmatan kulinari berlatar budaya Jawa dan China bercengkerama halus dan saling menghormati.
( sumber : Indonesia Design)
Penyebaran pengungsi ini juga menyentuh daratan Nusantara, dan Rembang salah satunya.Di kota pesisir utara Jawa ini, para pengungsi menetap dan berasimilasi dengan penduduk setempat. Mereka yang kebanyakan kaum lelaki mengambil isteri wanita setempat.
Etos kerja yang tinggi membuat para perantau bertahan, membaur dan berketurunan. Salah satu generasi ke dua yang saat itu cukup terpandang adalah seorang muslim yang membangun rumah tinggal sebagai wujud rasa hormat dan cinta terhadap ke dua orang tuanya yang berlaina etnis Jawa dan Cina. Maka dibangunlah sepetak hunian berisi tiga unit rumah Jawa, 2 joglo dan 1 limasan.maing-masing memiliki peruntukan dan penonjolan detail yang berbeda. Joglo terbesar dipersembahkan untuk ayahanda yang beretnis China, kaya dengan ukiran oriental. Keseluruhan detail didominasi warna merah Prada (air mas), warna khas budaya Tionghoa.
Sementara untuk sang ibu yang asli Jawa, dibuatkan sebuah rumah bergaya Limasan. Tipe rumah yang khas kebanyakan rakyat Jawa ini seolah menyimbolkan otentifikasi etnis sang ibu. Sementar satu joglo kecil lainnya digunakan sebagai tempat ibadah.
Di kemudian hari, kompleks inilah elemen-elemen utama yang membentuk resto Kahyangan. Adalah pemilik baru yang asli Solo, kolektor dan pecinta benda antikberbau Jawa, merasa memiliki sejarah yang sama dengan seorang haji dari Rembang, lantas memutuskan
untuk memboyong kompleks rumah tersebut ke Surabaya. Mempersembahkan kembali bagi ke dua orang tuanya yang berlainan etnis.
Dream of kahyangan Art Resto, nama resmi resto ini lantas menuntaskan misinya dengan tidak hanya berkutat pada urusan gastronomi, namun menjelajah kemungkinan konservasi budaya dengan menggelar berbagai kesenian Jawa. Kesenian-kesenian rakyat yang sudah jarang terdengar oleh publik digelar kembali seperti wayang Thengul Bojonegoro,Ludruk,Wayang Kulit,Perkusi Madura dsb.
Misi konservasi budaya ini ibarat sebuah jembatan bagi masa lalu, masa sekarang dan akan datang. Maka bermimpilah di Kahyangan, sebuah surga reka-reka. Tempat kenikmatan kulinari berlatar budaya Jawa dan China bercengkerama halus dan saling menghormati.
( sumber : Indonesia Design)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar